Perjalanan Haram (1)

4/16/2016

Jangan salah sangka dulu dengan judul di atas, maksud saya bukan perjalanannya yang haram atau saya melakukan hal-hal yang haram selama perjalanan, tapi perjalanan atau travelling yang saya lakukan ini adalah perjalanan selama di tanah haram, yaitu perjalanan umrah ke Madinah dan Mekkah. Dua kota istimewa yang menjadi tempat turunnya Al-quran Karim. Selain itu, kota Madinah dan Makkah tertutup bagi non-muslim dan diharamkan melakukan kejahatan di sana sehingga keduanya dinamakan Tanah Haram. Perjalanan ke Tanah Haram merupakan perjalanan yang tak terlupakan dan menjadi pengalaman pertama saya jalan-jalan ke luar negeri (akhirnya paspor saya kepake juga ya Allah, Alhamdulillah).

Sebulan yang lalu, saya dan beberapa orang keluarga mendapat rezeki untuk melaksanakan umrah. Jujur, awalnya tidak terpikir untuk umrah. Yang terpikir dalam otak saya adalah jalan-jalan ke luar negeri, ke negara empat musim seperti Jepang, Korea, Eropa, dan sebagainya. Tapi kemudian Allah berkehendak lain, Dia memanggilku ke sana, ke Baitullah. Ini adalah hidayah dari-Nya (semoga ini membuka jalan saya mengelilingi dunia. Amin).

Pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara King Abdul Aziz Jeddah, (padahal kalau pesawatnya landing di Madinah kan, kita jadi punya waktu lebih lama di kota itu). Perjalanan dari Jeddah ke Madinah memang memakan waktu lumayan lama. Sepanjang perjalanan, yang disuguhkan hanya pemandangan bukit-bukit batu berwarna coklat. Kalaupun ada yang berwarna hijau itu bisa dihitung dengan jari. Juga, tidak banyak bangunan seperti yang bertebaran di Indonesia (bagaimana waktu zaman Rasulullah hijarah dari Mekkah ke Madinah ya? Luar biasa sekali pastinya). Bahkan keadaan saat itu belum semaju sekarang, cuma ada onta sebagai kendaraan belum lagi cuaca yang panas dan kering, ditambah kadang-kadang terjadi badai pasir yang debunya Masya Allah sekali.

Lagi nunggu bus di terminal King Abdul Aziz Jeddah


Pohon, mana pohonnya?


Menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam (yang diisi biasanya dengan lantunan doa-doa tapi saya malah kebanyakan tidur), akhirnya sampailah kami di Madinah, kota paling suci kedua bagi umat muslim. Kota yang dulunya dikenal dengan nama Yatsrib, tapi setelah Rasulullah hijrah kota itu berganti nama menjadi Madinah Al Munawwarah yang artinya kota Madinah yang bercahaya atau Madinah sebagai tempat dilaksanakannya hukum Allah yang bercahaya. Pada zaman Nabi Muhammad kota ini menjadi pusat dakwah, pengajaran, dan pemerintahan Islam. Dari kota inilah Islam menyebar ke seluruh jazirah Arab lalu ke seluruh dunia dan akhirnya sampai kepada kita.

Bus akhirnya tiba di hotel saat tengah malam, kami diizinkan untuk makan malam terlebih dahulu, mengambil koper kemudian menuju ke kamar masing-masing dan beristirahat sejenak. Hotelnya lumayan nyaman, apalagi jaraknya yang sangat dekat dari Masjid Nabawi, cukup berjalan kurang lebih 5 menit, sampai deh di pelatarannya. Makanan yang disajikan juga khas Indonesia sekali, bahkan pegawai hotelnya banyak yang berasal dari Indonesia. Hotel-hotel di Madinah umumnya digunakan untuk menampung jamaah umrah dan haji, namun juga diperuntukkan untuk wisatawan muslim yang sekedar singgah di sana.

Masjid Nabawi dari lantai 11 Hotel Andalus Dar Khair

Di hotel juga terkadang menawarkan jasa penukaran rupiah ke riyal, katanya memudahkan para jamaah daripada harus ke Money Changer, tapi menurut saya lebih baik tukarkan rupiah Anda saat masih berada di Indonesia, karena harga yang ditawarkan di hotel lebih mahal. Saat saya di sana, sekitar bulan Maret 2016, sebenarnya 1 riyal dihargai sekitar Rp3500, tapi di hotel malah Rp3700. Bedanya memang sedikit, tapi kalau dikali banyak kan jadi banyak juga. Bahkan saya dan kakak saya berinisiatif mencari Money Changer, tapi kalau dipikir-pikir lagi dengan mahalnya ongkos taksi jadi kami berusaha ikhlas menerima 3700 itu (kelihatan banget sifat tidak mau ruginya).

Gambar dari mbah Google


Masjib yang istimewa di Madinah adalah Masjid Nabawi karena dibangun oleh Rusulullah dan menjadi tempat makam Beliau dan sahabat-sahabatnya (Sayyidinah Abu Bakar dan Umar). Kami bergegas ke sana saat sekitar jam 2 malam, walaupun pelataran masjidnya masih sepi tapi ternyata di dalam masjid sudah banyak jamaah yang melaksanakan sholat. Para jamaah selalu mengusahakan dirinya sholat wajib di Masjid Nabawi dan sholat sunnah sebanyak mungkin di sana, karena sholat di Masjid Nabawi pahalanya seribu kali lipat dari sholat di Masjid lain.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sekali shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram.
(HR. Bukhari dan Muslim).

So, pahala yang berlipat ganda inilah yang dikejar oleh para jamaah di Madinah. Mumpung berada di Madinah, maka sholatlah di sana sebanyak-banyaknya. Rugi rasanya jika melewatkan sholat lima waktu dan sholat sunnah tidak di Masjid Nabawi. Setiap selesai sholat wajib juga di sana melaksanakan sholat jenazah. Jadi, jangan langsung main kabur aja, kalau selesai sholat fardhu.

Pelataran Masjid Nabawi juga tidak kalah luasnya dari bangunan masjidnya sendiri. Pelataran ini dilengkapi dengan payung-payung raksasa yang dapat membuka dan mengutup secara otomatis. Payung-payung itu berguna untuk melindungi para jamaah dari terik matahari dan hujan. Payung-payung raksasa itu menempel pada tiang-tiang lampu yang pada malam hari bersinar dengan sangat terang.



Itu nomor gerbannya 15 yah, bukan 10

Agar tidak tersesat di Masjid Nabawi (yang luasnya kira-kira satu kelurahan), masuklah dari sebuah gerbang lalu tandai sebuah bangunan toilet dengan nomor yang tertera di depannya atau nomor dengan warnah cerah yang terpasang disetiap gerbang. Di pelataran Masjid Nabawi terdapat bangunan toilet yang berjejer-jejer, jumlahnya banyak sekali, saya sampai tidak sanggup menghitungnya, dan terpisah antara toilet pria dan wanita. Setiap toilet diberi nomor dengan angka Arab. Jadi, ketika masuk dari suatu gerbang, perhatikan nomor gerbangnya, juga nomor yang ada pada bangunan toilet. Ingat-ingatlah nomor toilet tersebut. Jika keluar dari pintu masjid yang jumlahnya juga puluhan pintu, maka ingatlah nomor toilet atau nomor gerbang tadi sebagai tanda. Jika nanti kesasar, maka berkelilinglah mencari nomor toilet atau nomor gerbang tersebut dan kita pun dapat keluar menuju jalan ke hotel.

Saat di sana kalian tidak perlu bingung harus bisa berbahasa Arab atau Inggris, penduduknya sebagian besar mengerti dan paham Bahasa Indonesia, bahkan ada beberapa pedagang yang menjajahkan barang dagangannya dengan Bahasa Indonesia. Menawarpun gampang, layaknya pasar-pasar di tanah air, kalau harganya ratusan riyal kita bisa menawar hingga 50% dari harga yang terpajang, jika harganya hanya puluhan riyal, biasanya para pedagang hanya mengambil untung sedikit (jangan keterlaluan juga saat menawar ya). Pedagang Arab menganggap orang-orang Indonesia adalah orang kaya dan suka berbelanja tanpa banyak pertimbangan, oleh karena itu terkadang mereka menawarkan harga yang lebih tinggi. Oh, ya mereka juga menerima pecahan rupiah 50ribu dan 100ribu (kadang-kadang juga 20ribu). Jadi, kalau kalian kehabisan riyal tanyakan dulu apakah mereka menerima rupiah atau tidak. Tapi, kalau pakai rupiah biasanya mereka membulatkan sampai Rp4000/riyal (Mahalkan? makanya tukar di Indonesia aja).

Itu harganya 80 riyal yah ibu-ibu, bukan 80 rebu.
Ingat dikali Rp3500, jangan sampai kalap

Di pasar juga banyak yang kayak beginian

Kebanyakan juga bagian bawah dan depan hotel disewakan untuk para pedagang. Dari jualan makanan, pakaian, perhiasan, dan lain-lain. Kalau menurut saya, barang-barang yang dijual di sana juga banyak dijual di pasar-pasar seperti di Tanah Abang. Lagipula harga di sana lumayan mahal kalau dibandingkan harga di Indonesia. Tapi kalau memang bersikeras ingin membawa oleh-oleh dari Arab, lebih baik berbelanja saat di Madinah, biasanya harga yang ditawarkan lebih murah dari di Mekkah, selain itu kita bisa lebih fokus untuk beribadah saat di Mekkah.

Khususnya dagangan berupa makanan seperti kurma, kacang, coklat, permen, dan lain-lain, mereka meneriakkan kata “Halal...halal...halal”, yang artinya kita boleh mencicipinya secara gratis meskipun tidak jadi membeli (tapi jangan sampai sekilo juga yang dicoba, kasihan pedagangnya). Tanya saja, “Halal?” sambil mengambil sebiji kurma. Kalau pedagangnya menjawab, “Halal,” artinya dia menghalalkan kurmanya untuk dicicipi.


"Halal?" "Halal."


T B C


# # #

Cerita perjalanannya sebenarnya masih panjang, jadi saya potong menjadi beberapa part ya, nanti yang baca (kalau ada -_-) capek melihat rentetan 1000 karakter lagi

You Might Also Like

1 comments

  1. Wahhh, jadi ingin pergi kesana secepatnya. Mariki' ibu' Aji 😆

    ReplyDelete